Cerita Rakyat Desa Lenek Lombok Timur.Menurut beberapa catatan sejarah, desa
tertua di Pulau Lombok bernama Desa Perigi. Desa ini terletak (saat ini)
di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Catatan lainnya yang
menyebutkan bahwa desa pertama dan tertua di Pulau Lombok adalah sebuah
desa yang dikenal dengan sebutan Desa Laek (desa lama) yang diperkirakan
terletak di sekitar Kecamatan Sambelia sekarang.
Desa Lenek, dahulu bernama Desa Sukamulia, penduduknya saat itu hanya berjumlah 140 orang. Jumlah 140 ini tidak bisa berkembang biak, entah karena apa, ada yang mengatakan kalau masalah ini akibat pengaruh desanya. Pada masa itu yang menjadi Penoak Desa (Pimpinan Desa) bernama BALOQ DASA. Baloq Dasa hanyalah pimpinan desa (bukan seorang raja), tetapi dalam menjalankan tugas keseharian memimpin desa, beliau dibantu oleh Patih yang berjumlah empat orang. Adapun keempat patih tersebut adalah : Patih Tembeng Bagia, Patih Si Nyiur, Patih Demung Papak, dan Patih Ramban Biaq.
Pada dasarnya seluruh rangkaian upacara adat “Mulut Bleq” adalah merupakan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat adat. Tentunya memperingati hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW mempunyai makna khusus dan dalam karena sebagai masyarakat adat unsur menembah, Pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor yang dominan di dalam hidup dan kehidupan.
Pada suatu masa Desa Perigi ini dilanda
musibah yang sangat mengenaskan, yaitu banjir bandang yang disebabkan
oleh meluapnya air Danau Segara Anak sehingga menyebabkan hanyut dan
tenggelamnya Desa Perigi tersebut. Sebagian masyarakat pergi mengungsi
ke daerah pegunungan untuk menyelamatkan diri. Setelah banjir reda
seluruh masyarakat Desa Perigi yang selamat (raja beserta rakyatnya)
pergi meninggalkan desanya dan mencari tempat baru untuk dijadikan
sebagai tempat tinggal, tempat baru ini dikenal dengan Labuan Lombok
yang terletak di Kabupaten Lombok Timur. Di tempat inilah, kehidupan
baru dimulai.
Setelah berjalan beberapa generasi, maka
pada suatu saat raja memerintahkan kepada sebagian rakyatnya untuk
meninggalkan Desa Labuan Lombok dengan tujuan untuk mencari tempat yang
masih kosong untuk dijadikan tempat tinggal yang baru. Diantara
kelompok-kelompok masyarakat itu, ada yang singgah kemudian menetap
diantara desa-desa yang sekarang ini bernama : Desa Borok Dadap, Desa
Sukatain, Desa Langko, dan Desa Sukamulia. Penduduk Desa Sukamulia
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk Desa Lenek sekarang
ini.
Desa Lenek, dahulu bernama Desa Sukamulia, penduduknya saat itu hanya berjumlah 140 orang. Jumlah 140 ini tidak bisa berkembang biak, entah karena apa, ada yang mengatakan kalau masalah ini akibat pengaruh desanya. Pada masa itu yang menjadi Penoak Desa (Pimpinan Desa) bernama BALOQ DASA. Baloq Dasa hanyalah pimpinan desa (bukan seorang raja), tetapi dalam menjalankan tugas keseharian memimpin desa, beliau dibantu oleh Patih yang berjumlah empat orang. Adapun keempat patih tersebut adalah : Patih Tembeng Bagia, Patih Si Nyiur, Patih Demung Papak, dan Patih Ramban Biaq.
Pada suatu hari Patih Ramban Biaq
beserta ketiga patih lainnya diutus oleh Baloq Dasa pergi ke Kerajaan
Selaparang untuk melaporkan kepada raja disana tentang kondisi
masyarakat desa Sukamulia yang tidak bisa berkembang. Singkat cerita,
Raja Selaparang mengutus ke-empat patih tersebut untuk pergi menemui
salah seorang keluarga raja di Desa Benoa (Kerajaan Benoa) di Lombok Tengah, untuk menjemput orang yang bernama Wirangbaya (Raden
Wirangbaya).
Setelah rombongan sampai di Desa Benoa,
mereka semua kemudian menyampaikan kepada Raja Benoa, bahwa Raja
Selaparang telah mengangkat orang yang bernama Raden Wirangbaya untuk
menjadi pimpinan di Desa Sukamulia. Dan untuk membantu tugas-tugas Raden
Wirangbaya, maka Raja Selaparang berkenan memberikan pengiring/pengikut
sebanyak 160 orang, serta dibekali dengan beberapa buah pusaka oleh
raja antara lain : 1 buah Boneka Patung Kucing Mas (Meong Mas), boneka
kucing yang di saput atau dilapisi emas murni, Keris Pusaka yang juga di
lapisi emas, yang diberi nama Si Papak/Bung Papak, Sabuk Belo dan
beberapa buah tombak serta beberapa pusaka lainnya.
Setelah beberapa tahun memimpin Desa
Sukamulia yang berpusat di Presak Lenek (sekarang menjadi desa pemekaran
yang bernama Desa Lenek Pesiraman), Raden Wirangbaya selanjutnya
memindahkan pusat pemerintahannya kesebelah utara sejauh lebih kurang
satu kilometer, perkampungan baru yang pertamakali dibuat itu di beri
nama Gubuk Koloh Petung, akan tetapi oleh masyarakat dulu dikenal dengan
sebutan LENDEK (bergeser, pergeseran, atau perpindahan sejauh 1 km),
kemudian lama kelamaan oleh masyarakat dikenal dengan sebutan LENEK.
Tidak ada catatan tertulis seputar waktu perpidahan tersebut, hanya
saja pada waktu itu diketahui bahwa agama Islam sudah masuk dan
berkembang di Desa Sukamulia ini walaupun belum begitu pesat.
Dalam beberapa informasi tersebut bila
dihubungkan dan ditilik data tentang sejarah masuknya agama Islam di
Lombok yaitu sekitar abad ke 16 hingga pertengahan abad ke 18, maka bisa
diperkirakan Raden Wirangbaya melaksanakan rencana pemerintahannya itu
adalah sekitar antara akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17.
Setelah berpindah tempat jumlah
penduduknya pun sudah mulai berkembang dengan cukup pesat, ini terjadi
karena telah “dimulainya” perkawinan antara penduduk Sukamulia yang
berjumlah 140 orang dengan pengikut Raden Wirangbaya yang berjumlah 160
orang. Di masa inilah kemudian Raden Wirangbaya mengutus ke empat orang
patih tersebut untuk pindah ketempat yang masih berada dibawah
kekuasaannya untuk menjadi wakilnya didalam memerintah di tempat
wilayahnya masing-masing.
Patih Demung Papak diperintahkan untuk
menuju kesebelah barat desa yang dinamakan Dasan Paok Pondong, disini
Patih Demung Papak ini berdomisili dan menjalankan tugasnya sebagai
wakil dari Raden Wirangbaya. Patih Tembeng Bagia diperintahkan untuk
menuju kesebelah selatan desa tepatnya di Dusun Dasan Tembeng, sementara
itu Patih Si Nyiur juga menuju ke selatan, hanya saja kalau Patih
Tembeng Bagia ke selatan barat, maka Patih Si Nyiur keselatan bagian
timur, dan di tempat yang diperintah oleh Patih Si Nyiur inilah yang
sekarang dikenal dengan nama Dasan Nyiur sesuai dengan nama Patihnya,
sedangkan Patih Ramban Biak diperintahkan menuju kesebelah utara desa
yang kemudian daerah itu dinamakan Dasan Ramban Biak.
Untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman agama pada masyarakat/rakyatnya maka Raden Wirangbaya
memerintahkan untuk mendirikan sebuah bangunan sarana peribadatan
sebagai tempat mengajar agama Islam yang dinamakan pesanteren, atau yang
oleh masyarakat setempat biasanya disebut Santeren. Pada saat pertama
kali didirikan santeren itu dinamakan Santeren Mulang, dinamakan
demikian karena memang tempat itu digunakan untuk mengajarkan
ajaran-ajaran agama (Mulang berasal dari bahasa jawa yang berarti
Mengajar). Tetapi entah karena apa akhirnya lama kelamaan nama santeren
Mulang berubah menjadi Santeren Malang. Dari hal ini dapat diketahui
seberapa besar pengaruh jawa (Majapahit) terhadap kehidupan rakyat Desa
Lenek waktu itu, dan juga sampai dengan hari ini.
Selain itu juga didirikan sebuah tempat
pemandian yang tujuannya adalah disamping untuk tempat mandi, juga
sebagai tempat rekreasi maupun istirahat, tempat ini dinamakan Pesirman.
Kemudian seperti halnya pada banyak kejadian maka nama itupun saat ini
lebih dikenal dengan nama Pesiraman.
Dari proses kesejarahan tersebut, maka
walaupun secara geografis letak desa lenek demikian adanya, akan tetapi
kultur atau budaya masyaraktnya tetap memiliki banyak kesamaan. Hal ini
juga yang menyebabkan mereka tetap merasa satu, sebagai salah satu
buktinya adalah bahwa tidak jarang terjadi sekelompok keluarga yang
berdomisili di ujung utara desa masih bersaudara dengan yang di ujung
selatan maupun lainnya, faktor pendukung lainnya adalah terdapatnya
beberapa peninggalan sejarah, seperti bekas masjid tua ” Masjid Presak”
(Presak = bekas pusat pemerintahan desa yang ditinggalkan) dan bekas
tempat pakaian orang tua yang di sebut MIJO.
Sampai saat ini masyarakat Desa Lenek
adalah merupakan salah satu masyarakat yang masih mampu melestarikan
budaya daerah setempat dalam lingkaran hidupnya, baik yang berupa
upacara yang bersifat ritual maupun upacara lainnya. Beberapa upacara
daur hidup yang masih dilestarikan oleh masyarakat desa lenek
diantaranya adalah Upacara Khitanan, Kelahiran, Perkawinan, juga
Kematian.
Selain itu ada juga beberapa upacara
yang berkaitan nilai agama yaitu, Upacara Bubur Putek (tanggal 10
Muharam), Upacara pembuatan Bubur Abang (tanggal 10 Syapar), Upacara
Mulut Adat (tanggal 12 Rabiulawal), serta ada pula upacara yang
berkaitan dengan alam misalnya, Begawe Belauq, Upacara Ngalu Ujan,
Upacara Betetulak, Upacara Ngayu-ayu.
Upacara Adat Mulut Bleq merupakan salah
satu bentuk upacara ritual pada masyarakat Lombok Timur, khususnya yang
berada di desa Lenek yang berlangsung secara turun temurun dari dulu
sampai saat ini, upacara ini dimaksudkan untuk memperingati kelahiran
nabi besar Muhammad SAW dengan secara adat, dimana pelaksanaan upacara
ini dimulai dari tanggal 10 sampai dengan 15 Rabiulawal pada setiap
tahunnya. Upacara Mulut Bleq diawali dengan pengeluaran Sabuk Belo
kemudian dilanjutkan dengan acara Pepaosan, Pembuatan Minyak Obat dan
acara puncaknya ialah Praja Mulud. Pada siang harinya acara dilanjutkan
dengan pengajian, penyantunan Anak Yatim Piatu dan pemberian makan
kepada semua mahluk. Sedangkan pada malam harinya diramaikan dengan
berbagai macam kesenian sasak.
Sabuk Belo disini merupakann simbol yang
melambangkan ikatan persaudaraan, Kekeluargaan, Persatuan dan Kestuan
antara sesama mahluk, sebagaimana yang tertulis dalam sastra sasak ”
Belo tetandan ta entiq, Pait pria ta kaken, Teguq tegeng maraq batu,
Kekah datan keneng obah, Tulus karang jari apur”, atau dalam Al’Quran di
sebutkan ” Wa’tasimu- bihabblillahijami’an wala tafarraqu”.
Berkaitan dengan pemberian makan kepada
semua mahluk hidup, hal ini merupakan tujuan Nabi Muhammad yang diutus
oleh Allah SWT sebagai penyelamat alam semesta (Rahmatan Lil Alamin)
atau dalam sastra sasak disebutkan “mel bao mel bawaq, maraq aiq dalem
selao (Memayu Hayuning Bwana)”, yang dilandasi dengan sifat kasih
sayangnya terhadap segala sesuatu (hanngelampahkan agung dana nira).
Pada dasarnya seluruh rangkaian upacara adat “Mulut Bleq” adalah merupakan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat adat. Tentunya memperingati hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW mempunyai makna khusus dan dalam karena sebagai masyarakat adat unsur menembah, Pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor yang dominan di dalam hidup dan kehidupan.
Di dalam menembah dan pasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa tersebut perlu diingat bahwa unsur kebersihan
jasmani dan rohani sangat dominan. Mengingat bahwa sang pencipta
bersifat Maha Suci, maka hanya dengan kesucian jasmani dan kesucian
jiwalah kita dapat sampai kepadanya. Oleh karena itulah bagi para
masyarakat penghayat, momen Mulut Bleq merupakan titik tolak untuk
merenung, menilai, dan mengintrofeksi diri sendiri sekaligus untuk
meneladani segala prilaku dan perjalanan hidup Rasulullah.
Tag :
Cerita Rakyat
3 Komentar untuk "Cerita Rakyat Desa Lenek Lombok Timur"
oooo... sumber ceritana leqan budi darma. salam kenal, miq
Salam Kenal juga sobb
Bagi bagi bonus sabung ayam online